BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam
mengkaji Islam, salah unsur yang sangat penting digunakan sebagai pendekatan
adalah Ilmu Ushulul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang
dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari'at yang bersifat amaliyah,
yang diperoleh melalui dalil-dalil secara rinci. Melalui kaidah-kaidah ushul
fiqh akan diketahui nash-nash syara' dan hukum-hukum yang ditunjukkannya.
Dengan ushul fiqh dapat dicarikan solusi untuk menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatan
kontradiksi satu sama lain.
Dengan
adanya perangkat ushul fiqh maka syari'at Islam akan membuktikan dirinya
sebagai syari'at yang akan berlaku sepanjang masa, dan tidak akan hilang
ditelan zaman. Demikian pula syari'at Islam akan cocok diamalkan oleh segala
etnis dan bangsa apa saja di dunia ini. Karena ruh dari ushul fiqh adalah
fleksibilitas dan kemudahan.
Diantara kaidah-kaidah ushul fiqh yang penting diketahui adalah Lafadz Al Muthlaq dan Al Muqayyad.
Diantara kaidah-kaidah ushul fiqh yang penting diketahui adalah Lafadz Al Muthlaq dan Al Muqayyad.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka terdapat beberapa masalah
yang perlu dibahas, yaitu :
1. Apakah yang dimaksud dengan al
muthlaq dan al muqayyad ?
2. Bagaimana hukum al muthlaq dan al
muqayyad ?
3. Membawa al muthlaq kepada al
muqayyad, dan apa saja syarat-syaratnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Lafaldz Al Muthlaq Dan Al
Mukayyad
1. Pengertian Lafadz Al Muthlaq
Apabila kita selidiki secara seksama
tentang keadaan tiap-tiap lafadz yang dipandang dari segi dibatasinya atau
tidak lafadz itu, maka ada yang keadaannya bebas dan tidak dibatasi
penggunaannya oleh hal lain (muqayyad). Hal-hal yang membatasi lafadz itu
disebut Al-Qayd. Oleh karena itu, berbicara tentang muthlaq terkait pula
masalah muqayyad dan Al-Qayd. Kata muthlaq secara bahasa, berarti lawan muqayyad
(tidak terikat dengan ikatan atau syarat tertentu). Secara istilah, lafadz
muthlaq didefinisikan sebagai lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya
tanpa qayd (dibatasi) oleh suatu hal yang lain.
Contoh
lafadz muthlaq dalam nash ( Al Qur'an) dapat diamati dari lafadz raqabah yang
terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadilah, 58:3:
وَالَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya:
Orang-orang yang menzhihar isteri
mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka
(wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini menjelaskan tentang kaffarat
zihar bagi suami yang menyerupakan isterinya dengan ibunya dengan memerdekakan
budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat "maka merdekakanlah seorang
budak" mengingat lafadz raqabah (budak) merupakan lafadz muthlaq, maka
perintah untuk membebaskan budak sebagai kaffarat zihar tersebut meliputi
pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin
atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula pemakaian kata raqabah pada ayat
di atas merupakan bentuk nakirah.
Contoh
lafadz muthlaq lain dapat ditemukan pada firman Allah surat al-Nisaa, 4: 43 :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
Artinya:
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam
musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang
baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi
Maha Pengampun.
Mengusap tangan dengan debu, dalam
ayat ini tidaklah dibatasi dengan sifat syarat dan sebagainya, artinya tidak
diterangkan sampai di mana, apakah semuanya diusap atau sebagiannya. Yang jelas
dalam tayammum itu harus mengusap tangan dengan debu dan tidak dibatasi bagian
mana saja asalkan bagian tangan.
Dilihat secara sepintas lafadz muthlaq mirip dengan lafadz 'aam, tetapi sebenarnya antara keduanya berbeda. Pada lafadz 'amm keumumannya bersifat syumuliy (melingkupi), sementara keumuman lafadz muthlaq bersifat badali (menggantikan). Umum yang syumuliy ialah kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuannya, sementara keumuman yang badaliy adalah kulliy dari sisi tidak terhalang menggambarkan terjadinya kebersamaan, tetapi tidak menggambarkan untuk setiap satuannya, hanya menggambarkan satuan yang syumuliy. Untuk melihat perbedaan antara kedua lafadz ini dapat diamati dari firman Allah di bawah ini :
Dilihat secara sepintas lafadz muthlaq mirip dengan lafadz 'aam, tetapi sebenarnya antara keduanya berbeda. Pada lafadz 'amm keumumannya bersifat syumuliy (melingkupi), sementara keumuman lafadz muthlaq bersifat badali (menggantikan). Umum yang syumuliy ialah kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuannya, sementara keumuman yang badaliy adalah kulliy dari sisi tidak terhalang menggambarkan terjadinya kebersamaan, tetapi tidak menggambarkan untuk setiap satuannya, hanya menggambarkan satuan yang syumuliy. Untuk melihat perbedaan antara kedua lafadz ini dapat diamati dari firman Allah di bawah ini :
Ø Firman Allah dalam surat Hud, 11:6 :
وَمَا
مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ
مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Artinya:
Artinya:
Dan
tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Apabila
diperhatikan secara seksama dalam ayat ini terdapat lafadz 'amm yang bersifat
syumuliy (melingkupi), yaitu kata dabbah. Lafadz ini umum karena bentuknya
nakirah yang mencakup semua jenis binatang melata. Isyarat keumuman dalam ayat
itu (menafikan sesuatu). Apabila lafadz 'amm pada ayat ini ditakhsis, bukan
berarti menghapuskan makna-makna lain yang dikandung dari keumuman lafadznya.
Makna-makna ini tetap dipandang ada, karena keumuman lafadz 'amm bersifat
syumuli.
Ø Firman Allah dalam surat al-Baqarah,
2:67:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا
قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Artinya:
Artinya:
Dan
(ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah
kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku
berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".
Dari ayat ini diketahui bahwa kata baqarah yang terdapat di dalamnya merupakan lafadz muthlaq yang bersifat umum lagi bersifat badaliy. Keumuman lafadz muthlaq ini meliputi bermacam afrad. Apabila lafadz muthlaq telah ditaqyid, maka afrad-afrad lainnya, sebagai cakupan dari lafadz muthlaq tersebut, tidak berlaku lagi.
Dari ayat ini diketahui bahwa kata baqarah yang terdapat di dalamnya merupakan lafadz muthlaq yang bersifat umum lagi bersifat badaliy. Keumuman lafadz muthlaq ini meliputi bermacam afrad. Apabila lafadz muthlaq telah ditaqyid, maka afrad-afrad lainnya, sebagai cakupan dari lafadz muthlaq tersebut, tidak berlaku lagi.
2.
Pengertian Lafadz Al Muqayyad
Secara bahasa, kata muqayyad berarti
terikat. Sementara secara istilah, Syekh Al Utsaimin mendifinisikan bahwa
"muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan
(adanya) qayd (pembatasan) oleh suatu hal yang lain". Sementara Firdaus
mengutip pendapat Abdul Karim Zaidan bahwa "muqayyad adalah lafadz yang
menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat
tertentu". Misalnya, ungkapan rajulun Iraki (Seorang laki-laki asal Irak),
dan raqabah mu'minah (hamba sahaya yang beriman).
Menurut Abu Zahrah sebagaimana dikutip
oleh Firdaus dalam Ushul Fiqh bahwa: "pembatasan ini terdiri dari sifat,
hal (keadaan), ghayah, syarat, atau dengan bentuk pembatasan yang
lainnya." Penggunaan sifat sebagai pembatasan dapat diamati dari firman
Allah surat al-Nisa', 4:92
وَمَنْ
قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
Artinya:
Barangsiapa membunuh seorang mu'min
karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.
Kata raqabah dalam ayat ini memakai
qayyid dalam bentuk sifat, yaitu mu'minah (beriman). Jadi, ayat ini
memerintahkan kepada orang yag membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja
untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekakan hamba
sahaya yang tidak beriman. Contoh qayyid dalam bentuk syarat dapat diamati
dalam kasus kaffarat sumpah, seperti pada firman Allah surat al-Maidah, 5:89 :
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya:
Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah
itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa
kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian,
maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat
sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur
(kepada-Nya).
Ayat ini menjadi landasan tentang bolehnya
puasa tiga hari untuk membayar kaffarat sumpah dengan ada qayyid dalam bentuk
syarat. Sebab, hal ini baru boleh dilakukan ketika tidak mampu memberi makan
sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan
seorang budak.
Adapun contoh muqayyad dalam bentuk
ghayah dapat diamati pada firman Allah surat al-Baqarah, 2:187
ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Artinya:
Artinya:
Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.
Dalam ayat ini terdapat perintah menyempurnakan puasa yang dihubungkan dengan batas waktu (ghayah), yaitu al-lail (malam). Atas dasar ini, terlarang melakukan puasa washal (puasa sepanjang hari).
Dalam ayat ini terdapat perintah menyempurnakan puasa yang dihubungkan dengan batas waktu (ghayah), yaitu al-lail (malam). Atas dasar ini, terlarang melakukan puasa washal (puasa sepanjang hari).
B.
Hukum Al Muthlaq dan Al-Muqayyad
1.
Hukum Al Muthlaq
Lafadz muthlaq yang terdapat dalam nash
harus diamalkan sesuai dengan kemuthlaqannya kecuali bila ada dalil yang
menunjukkan sebagai muqayyad, karena mengamalkan nash-nash Al Qur'an dan As
Sunnah hukumnya wajib seperti apa yang dituntut oleh nash-nash tersebut sampai
ada dalil yang berbeda dengan dengan hal tersebut. Dalam kondisi seperti ini,
muthlaq adalah qath'i al-dalalah. Misalnya surat al-Mujadilah, 58:3:
وَالَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
Artinya:
Artinya:
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib
atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur……
Lafadz raqabah (budak) dalam ayat ini
disebut secara muthlaq tanpa membedakan antara budak beriman atau kafir.
Adapun ayat yang mentaqyid ayat tersebut
adalah pada surat Al-Nisa', 4:92, Allah menggunakan lafadz raqabah juga,
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
Artinya:
Dan barangsiapa membunuh seorang mu'min
karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.
Karena itu yang dimaksud budak ketika
mendzihar isteri adalah budak yang beriman.
Apabila ada dalil sebagai taqyid (pembatas) dari dalil yang muthlaq, diamalkan sesuai dengan taqyid-nya, seperti firman Allah surat al-Nisa', 4:11:
Apabila ada dalil sebagai taqyid (pembatas) dari dalil yang muthlaq, diamalkan sesuai dengan taqyid-nya, seperti firman Allah surat al-Nisa', 4:11:
مِنْ
بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Artinya:
Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan sesudah dibayar hutangnya
Kata washiyah yang terdapat pada ayat ini
adalah muthlaq, tanpa ada taqyid dari ayat lain tentang jumlah wasiat itu,
apakah seperempat, setengah atau sepertiga. Taqyid dari kemuthlaqan lafadz
washiyah pada ayat ini ditemukan dalam hadits Nabi saw. Hadits seandainya
seseorang mengurangi wasiat dari sepertiga menjadi seperempat? Nabi saw
menjawab:
الثلث
و الثلث كثير
Rasulullah saw. Bersabda : Sepertiga, dan
sepertiga itu banyak (HR. Muttafaq Alaih).
2. Hukum Al Muqayyad
Dalam pandangan ahli ushul fiqh, mereka
menetapkan hukum wajib mengamalkan muqayyad. Misalnya, firman Allah pada surat
al-Mujadilah, 58:4:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
Artinya:
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak),
maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya
bercampur.
Berdasarkan ayat ini kewajiban melakukan
puasa selama dua bulan pada ayat tentang kaffarat zhihar diatas ditaqyidkan
dengan cara berturut-turut dan harus dilakukan sebelum suami isteri bercampur.
Sehubungan dengan itu, tidak boleh puasa dua bulan tersebut dilakukan dengan
tidak berturut-turut dan tidak boleh dilakukan sesudah bercampur.
Ahli ushul fiqh menetapkan bahwa lafadz
muqayyad tidak tetap sebagai muqayyad apabila ada dalil lain yang menghapuskan
batasannya. Misalnya, pada firman Allah surat al-Nisa', 4:23 yang menjelaskan
tentang wanita-wanita yang haram dikawini, seperti di bawah ini:
وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
Artinya:
Anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri.
Pada ayat ini terdapat lafadz rabaaibukum (anak tirimu) yang merupakan lafadz muthlaq yang diberi batasan dengan dua hal, yaitu : allati fi hujuurikum (yang berada dalam pemeliharaanmu) dan 'allati dakhaltum bihinaa (yang ibunya telah dicampuri). Batasan lain, yaitu ibunya yang telah dicampuri, tetap diamalkan, selama ibunya belum dicampuri. Apabila sudah dicampuri, hukumnya haram.
Pada ayat ini terdapat lafadz rabaaibukum (anak tirimu) yang merupakan lafadz muthlaq yang diberi batasan dengan dua hal, yaitu : allati fi hujuurikum (yang berada dalam pemeliharaanmu) dan 'allati dakhaltum bihinaa (yang ibunya telah dicampuri). Batasan lain, yaitu ibunya yang telah dicampuri, tetap diamalkan, selama ibunya belum dicampuri. Apabila sudah dicampuri, hukumnya haram.
Adanya batasan dalam ayat tersebut dengan
"yang berada dalam pemeliharaanmu", bukanlah batasan yang dapat
dipegang untuk mengharamkan kawin dengan anak tiri. Batasan itu hanya sekedar
menunjukkan kebiasaan bahwa anak tiri ikut ibu kandungnya sendiri dan dipelihara
ayah tirinya, sebagaimana juga anak tirinya ikut dan dipelihara ayah kandungnya
sendiri. Dengan demikian, ayah tiri yang telah mencampuri ibunya, haram kawin
dengan anak tirinya baik yang dipelihara oleh ayah tirinya ataupun tidak.
C.
Membawa Al Muthlaq kepada Al Muqayyad
Apabila
ada lafadz dalam suatu nash disebut secara muthlaq dan ada pula nash lain dalam
bentuk muqayyad, maka untuk menyelesaikannya dapat dilihat dari empat bentuk,
yaitu :
1. Hukum dan sebab yang terkandung
dalam muthlaq dan muqayyad adalah sama. Tegasnya, ada kesamaan hukum dan sebab
yang menimbulkan hukum pada dua nash berbeda. Dalam kaitan ini, ulama ushul
fiqh sepakat menetapkan bahwa nash muthlaq harus dibawa kepada nash muqayyad
sehingga pemahaman terhadap nash itu sesuai dengan ungkapan muqayyad.
Umpamanya, firman Allah surat al-Maidah, 5:3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
Artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi
Lafadz al-damm (darah) pada ayat ini
merupakan lafadz muthlaq karena tanpa membedakan antara darah mengalir dengan
yang tidak mengalir. Dalam kesempatan lain, Allah berfirman pada surat
al-An'am, 6:145:
قُلْ
لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا
أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
Artinya:
Artinya:
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir
atau daging babi
Kata al-damm dalam ayat ini dikatikan
dengan sifat masfuuha (mengalir). Kedua ayat ini mengandung hukum yang sama,
yaitu haram. Begitu pula dengan sebab yang terdapat pada kedua ayat tersrebut
sama, yatu haramnya darah karena mendatangkan mudharat. Mengingat sama hukum
dan sebabnya, maka untuk ayat muthlaq yang terdapat pada surat al-Maidah, 5:3
diberlakukan ketentuan muqayyad dalam surat al-An'am, 6:145. Atas dasar ini,
darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir, bukan darah yang masih tersisa
dalam daging dan hati.
2. Hukum dan sebab yang terkandung dalam muthlaq
dan muqayyad berbeda. Dalam hal ini, ada dua nash yang masing-masing terdiri
dari nash muthlaq dan nash muqayyad. Antara kedua nash ini berbeda hukum dan
sebabnya. Ulama ushul fiqih sepakat menetapkan bahwa masing-masing nash
dipahami secara tersendiri. Misalnya, firman Allah pada surat al-Maidah, 5:38:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ
اللَّهِ
Arinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dalam
surat al-Maidah, 5:6, Allah berfirman :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku,
Kata aidiya (tangan) yang terdapat pada
surat al-Maidah, 5:38 merupakan muthlaq. Sementara kata aidya pada ayat ke dua
adalah muqayyad yang dikaitkan dengan kata ila al-marafi' (sampai ke siku).
Hukum yang terdapat pada kedua ayat ini pun berbeda. Ayat pertama terkait
dengan hukum potong tangan, sedangkan ayat kedua terkait dengan keharusan
membasuh tangan. Sebab berlakunya hukum pada kedua ayat tersebut juga berbeda.
Pada ayat pertama karena pencurian, sedangkan sebab pada ayat kedua adalah berwudhu'
untuk pelaksanaan shalat.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa tidak boleh memberlakukan nash muqayyad (sampai siku) terhadap nash
muthlaq. Tegasnya, tidak boleh memotong tangan sampai siku terhadap pelaku
pidana pencurian berdasarkan taqyid ayat yang kedua di atas, karena hukum dan sebab
pada kedua ayat berbeda.
3. Antara nash muthlaq dan muqayyad
mempunyai hukum yang berbeda, sedangkan sebabnya sama. Misalnya firman Allah
yang terdapat pada surat al-Maidah 5:6:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,Ayat ini menjelaskan tentang
membasuh tangan sampai siku dalam bentuk muqayyad. Pada lanjutan ayat ini Allah
berfirman :
وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا
طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
مِنْهُ
Artinya:
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.
Ayat ini memerintahkan menyapu tangan
ketika melakukan tayammum. Kata tangan di sini merupakan bentuk muthlaq. Hukum
yang terdapat pada kedua ayat ini berbeda, yaitu muthlaq untuk kewajiban
menyapu tangan dalam tayammum, sedangkan pada muqayyad adalah kewajiban membasuh
tangan dalam berwudhu'. Sebab dalam kedua ayat adalah sama, yaitu keharusan
bersuci untuk mendirikan shalat.
Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat
dalam membawakan lafadz muthlaq kepada muqayyad. Jumhur ulama berpendapat bahwa
lafadz muthlaq harus dibatasi dengan muqayyad. Dalam contoh di atas, ketika
tayammum yang disapu tangan sampai siku. Sementara Abu Hanifah berpendapat
lafadz muthlaq dan muqayyad, masing-masing diterapkan secara independen. Atas
dasar ini, cukuplah menyapu tangan dalam tayammum sampai kedua pergelangan
tangan.
4. Ada dua nash muthlaq dan muqayyad
yang hukumnya sama, tetapi sebabnya berbeda. Misalnya, firman Allah dalam surat
al-Mujadilah, 58:3:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ
نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ
أَنْ يَتَمَاسَّا
Artinya:
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan Maka (wajib
atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Dalam ayat kaffarat zhihar di atas, lafadz
raqabah dikemukakan dalam bentuk muthlaq. Sementara pada surat al-nisa', 4:92,
Allah menggunakan lafadz raqabah juga :وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
Artinya:
Dan barangsiapa membunuh seorang mu'min
karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.
Dalam ayat ini, lafadz raqabah dikaitkan
dengan sifat mu'minah. Sementara sebab yang menimbulkan hukum pada kedua ayat
di atas berbeda, pada lafadz muthlaq yang pertama berkaitan dengan kasus
kaffarat zhihar, sedangkan pada muqayyad ayad kedua dalam kasus pembunuhan yang
tidak sengaja. Hukum dalam kedua ayat ini sama yaitu kewajiban memerdekakan
budak.
Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat
dalam menanggungkan muthlaq atas muqayyad bentuk ini,. Jumhur ulama
berpendirian bahwa muthlaq ditanggungkan (dipahami menurut arti) kepada
muqayyad. Jadi, budak yang dimerdekakan dalam kaffarat zhihar adalah budak
beriman. Kalangan Hanafiyyah berpendapat lafadz muthlaq tidak dapat dipahami
menurut muqayyad. Lafadz muthlaq mesti diamalkan menurut kemuthlaqannya, yaitu
untuk sanksi zhihar yang dimerdekakan adalah budak, baik mukmin atau tidak.
Sedangkan lafadz muqayyad diamalkan sesuai dengan qayyid-nya, yaitu untuk
kaffarat pembunuhan yang tidak sengaja, sanksinya memerdekakan budak yang
mukmin.
Syarat-syarat Membawa Al Muthlaq kepada Al
Muqayyad
1.
Bahwa yang taqyid merupakan sifat dari suatu zat. Syarat ini ditetapkan Syekh
abu Hamid al-Asfaraniy (344-405 H, ahli ushul mazhab Syafi'), al-Mawardi (364
H-450 H, ahli fiqih dan ushul fiqiih mazhab Syafi'i), al-Rubaniy, al-Abhari
(ulama mazhab Malikiyyah), ibn Khairan al-Syafi'i.
2.
Muthlaq tersebut hanya satu, seperti syarat adil bagi para saksi. Syarat ini
dikemukakan Abu Mansur al-harisi, Abu Ishaq al-Syairazi (393-476 H, ahli ushul
mazhab Syafi'i), al-Mawardi dan al-Qadhi Abd al-Wahhab (ahli ushul mazhab
Malki).
3. Muthlaq itu dalam konteks amar, bukan nafi dan nahi. Syarat ini dirumuskan oleh al-Amidi (Amid-Turki, 551 H-Damaskus, 631 H; ahli ushul mazhab Syafi'i), dan ibn al-Hajib (570-646 H, ahli ushul mazhab Maliki). Menurut al-Razi dan al-Asfahani membawa muthlaq kepada muqayyad tidaklah mesti sebatas amr saja, tetapi juga meliputi nahi dan bentuk-bentuk lainnya.
3. Muthlaq itu dalam konteks amar, bukan nafi dan nahi. Syarat ini dirumuskan oleh al-Amidi (Amid-Turki, 551 H-Damaskus, 631 H; ahli ushul mazhab Syafi'i), dan ibn al-Hajib (570-646 H, ahli ushul mazhab Maliki). Menurut al-Razi dan al-Asfahani membawa muthlaq kepada muqayyad tidaklah mesti sebatas amr saja, tetapi juga meliputi nahi dan bentuk-bentuk lainnya.
4.
Muthlaq tersebut tidak dalam persoalan-persoalan mubah.
5.
Antara muthlaq dan muqayyad tidak dapat dipertemukan kecuali dengan membawa
muthlaq kepada muqayyad.
6.
Sesudah penyebutan lafadz muthlaq tersebut tidak diiringi dengan penyebutan
lafadz muqayyad.
7.
Tidak ada dalil yang menghalangi pen-taqyid-an muthlaq tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Lafadz Al Muthlaq ialah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa qayd (dibatasi) oleh suatu hal yang lain.
2. Sedangkan yang dimaksud dengan lafadz al-muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan (adanya) qayd (pembatasan) oleh suatu hal yang lain.
3. Adapun perbedaan antara muthlaq dengan muqayyad, bahwa muthlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Misalnya, lafadz raqabah yang terdapat dalam surat al-Mujadilah, 58:3 adalah bentuk muthlaq karena itu tidak diikuti sifat apapun. Jadi, apapun, baik mukmin atau bukan mukmin. Sementara muqayyad menunjuk kepada hakikat sesuatu, tetapi mempertimbangkan beberapa hal, yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan, seperti pada contoh. di atas.
4. Mengamalkan nash-nash yang lafadznya muthlaq dan muqayyad hukumnya wajib
5. Muthlaq dapat saja dibawa kepada muqayyad dengan beberapa syarat
Wallahu Ta'ala A'lam
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Lafadz Al Muthlaq ialah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa qayd (dibatasi) oleh suatu hal yang lain.
2. Sedangkan yang dimaksud dengan lafadz al-muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan (adanya) qayd (pembatasan) oleh suatu hal yang lain.
3. Adapun perbedaan antara muthlaq dengan muqayyad, bahwa muthlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Misalnya, lafadz raqabah yang terdapat dalam surat al-Mujadilah, 58:3 adalah bentuk muthlaq karena itu tidak diikuti sifat apapun. Jadi, apapun, baik mukmin atau bukan mukmin. Sementara muqayyad menunjuk kepada hakikat sesuatu, tetapi mempertimbangkan beberapa hal, yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan, seperti pada contoh. di atas.
4. Mengamalkan nash-nash yang lafadznya muthlaq dan muqayyad hukumnya wajib
5. Muthlaq dapat saja dibawa kepada muqayyad dengan beberapa syarat
Wallahu Ta'ala A'lam
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an Al- Karim dan Terjemahannya Ke Dalam Bahasa Indonesia (Di bawah Pengawasan Perwakilan Bagian Percetakan dan Penerbitan Pada Kementrian Agama, Wakaf, Da'wah, Dan Bimbingan Islam Riyadh Kerajaan Saudi Arabia)
Al Utsaimin, Muhammad Bin Shalih, AlUshul Min Ilmi al-Ushul,Cet. III ; Beyrut: Muassasah Ar Risalah dan Riyadh: Maktabah Ar Rasyad, 1406H-1986M
Umam, Khaerul dan Amiruddin, Achyar, Ushul Fiqih II ,Cet.II; Bandung: Pustaka Setia, Juni 2001
Firdaus, Ushul Fiqh ,Cet.I; Jakarta: Zikrul Hakim, Dzulqaidah 1425-Desember 2004
Khallaf, Abdul Wahhab, Kaidah-KaidahHukum Islam, Cet. VII; Jakarta: Rajawali Press, Juli 2000.
Najmuddin Abir Rabi' Sulaiman ibn Abdil Qawy ibn Abdil Karim ibn Sa'id Ath Thawwuffii, Syarh Mukhrshar al-Rawdhah Juz II, Cet. Thn 1419H-1998M.
Al-Qur’an Al- Karim dan Terjemahannya Ke Dalam Bahasa Indonesia (Di bawah Pengawasan Perwakilan Bagian Percetakan dan Penerbitan Pada Kementrian Agama, Wakaf, Da'wah, Dan Bimbingan Islam Riyadh Kerajaan Saudi Arabia)
Al Utsaimin, Muhammad Bin Shalih, AlUshul Min Ilmi al-Ushul,Cet. III ; Beyrut: Muassasah Ar Risalah dan Riyadh: Maktabah Ar Rasyad, 1406H-1986M
Umam, Khaerul dan Amiruddin, Achyar, Ushul Fiqih II ,Cet.II; Bandung: Pustaka Setia, Juni 2001
Firdaus, Ushul Fiqh ,Cet.I; Jakarta: Zikrul Hakim, Dzulqaidah 1425-Desember 2004
Khallaf, Abdul Wahhab, Kaidah-KaidahHukum Islam, Cet. VII; Jakarta: Rajawali Press, Juli 2000.
Najmuddin Abir Rabi' Sulaiman ibn Abdil Qawy ibn Abdil Karim ibn Sa'id Ath Thawwuffii, Syarh Mukhrshar al-Rawdhah Juz II, Cet. Thn 1419H-1998M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar